Arsitektur Tradisional BELU, Nusa Tenggara Timur.

Desember 21, 2010 at 2:19 pm (Uncategorized)

Kabupaten Belu adalah salah satu dari 20 Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang terletak pada koordinat 124º – 126º LS, beribukotakan Atambua, sebuah kota kecil yang terletak 500 meter diatas permuksaan laut, dengan jarak dari Kupang lebih kurang 290 km.
Batasan wilayah Kabupaten Belu adalah , sebagai berikut :
Utara : Selat Ombai
Timur : Negara Timor Leste
Selatan : Laut Timor
Barat : Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
Pada Tahun 2006 tercatat 17 Kecamatan dalam Kabupaten Belu, dengan Kecamatan Tasifeto Barat sebagai Kecamatan Terluas dan Kecamatan Kota Atambua sebagai Kecamatan dengan luas wilayah terkecil.
Kabupaten Belu dengan luasan wilayah 2445,57 km2 yang keseluruhan wilayahnya berupa daratan ini, beriklim tropis dengan musim kemarau lebih dominan dibanding musim penghujan. Selain itu, curah hujan yang rendah juga sangat dipengaruhi letak geografis kabupaten Belu yang lebih dekat dengan Benua Australia.
Secara Administrasi Kampung Adat suku Matabesi yang merupakan sampel obyek kasus arsitektur vernakular Belu,terletak di Sesekoe, Kecamatan Kota Atambua. Keadaan topografis daerah ini berada di puncak bukit kapur dengan kontur tanah yang curam.

3.2 KEADAAN PENDUDUK
Asal – Usul Penduduk
Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku Melus”. Orang Melus di kenal dengan sebutan “Emafatuk oan ai oan”, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Malaka sebagai tanah asal – usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan. Para pendatang di Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang. Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya.
Suku
Ada beragam suku yang tinggal di belu, semuanya dibagi dalam lima suku besar yang bibagi berdasarkan bahasa dan dialek yang digunakan sehari – hari. Kelima suku tersebut adalah suku Tetun yang merupakan suku terbesar yang mendiami hampir semua bagian Belu Selatan dan sebagian Belu Utara, Suku dawan Manlea, suka MaraE, Suku Bunak dan suku Kemak. Suku MaraE, Bunak dan Kemak mendiami bagian Belu Utara, ketiga suku ini memiliki perbedaan pada bahasa dan makna yang disampaikan.
Suku besar Matabesi merupakan bagian dari suku Tetun yang mendiami bagian Belu Utara. Suku Matabesi sendiri dibagi atas 13 suku besar yang di identifikasikan dengan hadirnya 12 rumah yang mengitari satu rumah induk (uma Bot). Pada kondisi riilnya yang ada di daerah kab. Belu hanyalah 12 rumah, yaitu :
Uma Bei Hale
Uma Bei Asa
Uma Klokes
Uma Bei Bere
Uma Manehat
Uma Ba’a
Uma Meo
Uma Manek Ikun
Uma Mahen Lulik
Uma Ki’ik (Fatuketi – Ainiba, Kecamatan Kakuluk Mesak)
Uma Manumean (Mena – TTU)
Uma Bot, sebagai pusat (center)
Sementara satu rumah lagi berada di daerah perbatasan Belu dan TTU tidak didapati nama dari rumah ini.

Suku Matabesi sendiri, seperti cerita pada umumnya, berawal dari satu nenek moyang. Diceritakan oleh Makoan (juru kunci) setempat bahwa suku ini bermula dari tiga bersaudara yang dijuluki “SINA MUTIN MALAKA” yang mengawali perjalanan mereka dari Flores tepatnya Larantuka yang kemudian menuju Mutis (Soe-TTS). Perjalanan dilanjutkan ke daerah Wefo-Maubesi (Masinlulik) kerajaan Wewiku-Wehali lalu menuju ke Lorosae (daerah Timor – Timur). Di tanah Timor Leste ini sempat berada di daerah Soebada (Manututu) kembali ke Turiskain (Same), dari Same SINA MUTIN MALAKA menuju daerah We Roat, Lorotolus, Seniri,Rai Metan, Tuna Mutin Asukoes, Siara Mauhalek (tepatnya berada di Lakaan, gunung tertinggi di Kab. Belu), Halitetuk, Umahon Loeletelaran, Ulumutik Ainurak, Matan dato lahurus, Sarabete Aira, Ausen Auka (sekarang bernama Toro), Onarasi, Aumau dan We Reo.
Diceritakan bahwa, sesampainya Sina Mutin malaka di We Reo, bertemulah mereka dengan Tuan Tanah setempat (Melus) yang bernama Naita Besibaka. Dalam pertemuan itu Naita Besibaka menjamu/menyediakan makanan yang masih mentah atau belum dimasak, karena penduduk asli setempat belum tahu membuat api. Lain halnya dengan tiga saudara Sina Mutin Malaka yang telah banyak melakukan perjalanan panjang, mereka tahu membuat api, maka dibuatlah perjanjian untuk pertemuan berikutnya dengan syarat makanan tersebut telah berhasil diolah. Pada pertemuan dua hari berikutnya, Naita Besibaka disuguhi masakan yang telah dimasak, dengan cerdik Sina Mutin Malaka menyembunyikan api bekas memasak. Naita Besibaka yang puas dengan hasil tersebut akhirnya mengadakan perjanjian pertukaran wilayah dengan cara mengelolah makanan dari Sina Mutin Malaka. Wilayah tersebut akhirnya ditempati oleh ketiga saudara sampai anak cucunya dengan membuat perkampungan dan menjadikan satu SUKU MATABESI. Maksud nama Matabesi adalah Matan dan Besik dalam bahasa Indonesia adalah Sumber Adat.

Sistem Sosial Budaya

Daerah kabupaten Belu pada umumnya terdiri atas daratan bukit dan pegunungan serta hutan. Daerah Belu tergolong daerah yang curah hujannya sedikit yang secara tidak langsung iklim tersebut mempengaruhi pola hidup dan watak keseharian masyarakat Belu.
Tempat tinggal orang-orang Belu dahulunya banyak berada di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh semak berduri dan batu karang yang tidak mudah didatangi orang dan hidup secara berkelompok, dengan maksud untuk menjaga keamanan dari gangguan orang luar maupun binatang buas
Rumah asli penduduk Belu berbentuk seperti kapal terbalik dan ada yang seperti gunung. Atapnya menjulur ke bawah hampir menyentuh tanah. Dinding rumah terbuat dari Pelepah Gewang, biasa disebut Bebak, tiang-tiangnya terbuat dari kayu-kayu balok, sedang atapnya dari daun gewang.
Pola perkawinan yang disukai oleh orang Belu adalah perkawinan antara seorang pemuda dengan anak gadis saudara laki-laki ibu dengan sebutan Talain. Walaupun demikian seorang pemuda bisa kawin dengan gadis mana pun, asal bukan dengan anak saudara perempuan ibunya yang dianggap masih saudara.
Ada dua macam sistem perkawinan adat yang dianut oleh masyarakat Belu, yakni sistem perkawinan patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ayah) di Belu Utara dan sistem matrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ibu) di Belu Selatan.
Sistem patrilineal merupakan sistem perkawinan yang sangat menjunjung tinggi belis (mas kawin), karenanya sebelum pernikahan dilangsungkan, calon pria menjalani rentetan adat perkawinan, dari meminang, memberikan belis, dan terakhir dilakukan pengesahan. Oleh karena itu setelah melakukan upacara tersebut dan mempelai pria telah melakukan pembayaran belis sampai selesai atau putus, sejak saat itu pula mempelai wanita bersama keturunannya nanti, putus hubungan secara adat istiadat dengan ayah dan ibu serta keluarganya kemudian masuk ke suku/klen suaminya.
Lain halnya dengan sistem perkawinan matrilineal, karena dalam sistem perkawinan matrilineal, calon suami tidak membayar belis (mas kawin) kepada calon istrinya, tetapi calon suami dan keturunannya nanti harus masuk dan menganut adat suku istrinya serta memutuskan hubungan secara adat kesukuan calon suami. Bahkan hingga meninggal dunia pun tidak dibolehkan dikembalikan ke keluarganya. Dengan kata lain suami putus sama sekali dengan keluarganya dalam hal urusan adat.
Perkawinan dianggap sah oleh adat bila telah menjalani ritual pengesahan perkawinan yang disebut mugen gotui (pembangunan jiwa orang mati). Pada upacara itu masing-masing pihak mengundang roh nenek moyang untuk menyaksikan perkawinan itu. Namun untuk saat ini pengesahan kebanyakan dilakukan oleh pihak gereja atau tempat peribadatan lainnya.
Sebelum pengaruh agama masuk ke daerah ini masyarakat di sini sudah mempunyai kepercayaan kepada Sang Pencipta, Sang Pengatur, yang biasa mereka sebut dengan Uis Neno, Dewa Langit dan Uis Afu, Dewa Bumi. Tetapi hampir sebagian penduduk Belu menyebut Tuhan sebagai Maromak. Banyak ragam upacara dan sesaji yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebut untuk meminta berkah kesuburan tanah, hasil panen dan lain-lain. Salah satu contoh adalah upacara Hamis Batar dan Hatama Manaik, suatu upacara sebagai tanda rasa syukur dimulainya musim petik jagung. Setelah zaman pendudukan kaum penjajah banyak masarakat Belu yang telah meninggalkan agama adat dan beralih memeluk salah satu keyakinan yang terlah disahkan oleh pemerintah.

3.3 ARSITEKTUR RUMAH BELU
Pola Pemukiman/Perkampungan
Pola perkampungan arsitektur rumah Belu pada umumnya mencerminkan hubungan masyarakat terhadap alam, tatanan sosial, keadaan alam, sistem bercocok tanam, dan kosmologi masyarakat yang mendiaminya.
Konsep ruang dalam tatanan tatanan perkampungan dalam rumah Belu merupakan bagian penting dari tradisi vernacular masyarakat setempat. Tipe tatanan permukiman dan rumah dari kampung-kampung tradisional di Belu pada umumnya merupakan tipe cluster (tanean), yang dari waktu – ke waktu tatanan ini mengalami evolusi dalam perkembangannya.
Pola perkampungan/ pemukiman rumah adat suku Matabesi adalah salah satu contoh pemukiman adat di Belu. Pemukiman ini memiliki tipe cluster,dengan “uma Bot” sebagai sentral/ pusat perkampungan. Perletakan tempat yang dianggap sakral, pemukiman suku Matabesi terletak di depan kampung, yakni pada daerah yang lebih tinggi.
Selain itu, di depan tiap rumah adat 13 suku dalam Suku besar Matabesi juga diletakkan batu persembahan (aitos), sebagai tempat berlangsungnya upacara adat. Tatanan pemukiman pada perkampungan suku Matabesi, mewajibkan tiap rumah yang didirikan harus menghadap/ berorientasi ke arah Timur atau menghadap Lakaan (gunung tertinggi di Kab. Belu).
Kampung suku Matabesi terletak diatas puncak bukit dengan topografi yang berundak – undak. Kampung ini dikelilingi oleh kebun (To’os) sebagai pembatas desa yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pencaharian. Di samping itu, yang juga menjadi pembatas fisik kampung adalah kondisi topografi yang curam. Secara ringkas pola kampung suku matabesi adalah sebagai berikut :
a. Gerbang kampung (Kanokar)
b. Bangunan megalitik, terdiri dari kuburan (rate) dan mezbah (aitos)
c. Pelataran terbuka (sadan)
d. Mata air ( we matan)
e. Kebun ( To’os)
f. Kampung dalam (Leo laran)
g. Rumah adat (Uma Lulik/Kakaluk)

Tipologi Arsitektur
Tipologi arsitektur rumah tradisional suku Matabesi dapat dibagi dalam tipologi fungsi, tipologi bentuk dan tipologi langgam.
Dari segi fungsi, rumah tradisional suku matabesi dapat dibedakan setidaknya atas 3 jenis, yakni uma kakaluk/ uma luli (rumah pemali/terlarang), uma bot (rumah besar/pusat semua kegiatan adat), dan uma laran (rumah tinggal rakyat).
Dari segi tipologi bentuk, rumah adat suku matabesi juga ada dua, yakni rumah beratap perahu terbalik dan yang beratap limasan pada rumah tinggal rakyat.
Sedangkan ditinjau dari segi tipologi langgam, maka arsitektur rumah tradisional Belu-suku Matabesi (uma Bot) dalam kekiniaannya mengenal adanya lagam khas arsitektur Belu (atap perahu terbalik) dan tipologi langgam yang memiliki keserupaan dengan arsitektur Sabu dan Rote dengan beberapa perbedaan serta varian yang menunjuk pada jati diri masing – masing daerah Belu, Sabu dan Rote.
Namun secara tipologi fungsi bentuk arsitektur rumah tradisional Belu – Suku Matabesi ini berbeda dari masa lampau, terlihat pada topologi berbentuk panggung. Sebelumnya, rumah adat suku matabesi berpanggung rendah akni kisaran 50-70 cm, tetapi seiring berjalan waktu, dibutuhkan ruang untuk beraktifitas maka panggung ini ditinggikan sekitar 1,8 – 2 m.

Pola Ruang

Pola/ tata ruang dalam arsitektur tradisional Belu – Suku Matabesi secara hirarkis dibagi atas dua, yakni secara horisontal dan secara vertikal.
Secara horisontal pola ruang pada arsitektur rumah belu – suku matabesi (uma bot) dibagi atas tiga ruang (berdasarkan adat perkawinan/kawin keluar/patrilinear), dengan ruang tengah sebagai inti rumah, ruang ini bersifat profan, yakni digunakan juga dalam aktifitas sehari – hari serta sakral karena digunakan sebagai tempat melakukan aktifitas upacara adat dalam rumah. Ruang tengah ini bersifat sakral juga dikarenakan ruang ini memiliki pantangan tersendiri (wanita yang dinikahi tetapi belum lunas belisnya tidak boleh masuk ruang ini).
Bagian depan rumah merupakan ruang yang bersifat profan serta terbuka untuk umum. Dikatakan terbuka untuk umum karena ruang ini boleh dimasuki oleh segala gender dari segala usia (siapa saja boleh masuk/ tidak ada ikatan adat).
Ruang belakang diperuntukan untuk aktifitas perempuan seperti memasak dan pekerjaan rumah tangga yang lain (slak ha’i). Perempuan yang belum lunas belisnya hanya diperbolehkan masuk dan tinggal di dalam ruang ini. Ruang ini dibatasi oleh sebuah balok lantai (kotan) dengan ruang tengah, , apabila belisnya sudah lunas diadakan upacara adat untuk melangkahi kotan ini.
Secara vertikal rumah tradisional belu – suku Matabesi, dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni kolong rumah (o’hak laran), bagian dalam rumah – diatas panggung (uma Laran) serta bagian atas/ loteng rumah (kahak Leten).
O’hak Laran berfungsi sebagai tempat untuk menenun,anak – anak bermain dan memasak yang sekarang dilakukan di luar rumah. Sebenarnya o’hak laran merupakan tempat yang tidak dipakai untuk aktifitas (tinggi panggung 80 cm) karena dipercaya sebagai tempat dunia orang mati, tetapi akibat bertambahnya kebutuhan ruang ruang ini berubah fungsi sebagai tempat aktifitas sehari – hari.
Uma laran merupakan tempat tinggal manusia, dipercaya sebagai dunia orang hidup.
Yang terakhir bagian yang dianggap sakral/suci, Kahak leten tempat menyimpan benda adat dipercaya sebagai dunia leluhur. Kahak leten ini dibagi atas dua bagian menurut fungsinya yakni kahak Lor tempat menyimpan benda pusaka/kakaluk dan kahak kotuk difungsikan sebagai lumbung makanan.
Pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) tradisional Belu (Uma Bot) pada dasarnya memiliki konsep dan hirarki ruang yang identik dengan pola/hirarki pada tata ruang dari dalam arsitekturnya. Inti dari ruang luar pada tata tapak permukiman tradisional Belu ini adalah bangunan megalitik dan pelataran terbuka (sadan) di depan kampung.
Pada bangunan Megalitik ada juga kuburan pahlawan mereka (Meo) dan tempat upacara adat (Aitos), sedangkan Sadan berfungsi ganda sebagai tempat upacara adat yang sakral dan bisa juga bersifat profan karena digunakan juga sebagai tempat melakukan aktifitas sehari – hari seperti bermain dan melakukan komunikasi antar warga kampung.

Sistem Struktur dan Konstruksi
Ditinjau dari sistem struktur dan konstruksinya ,rumah adat suku Matabesi Belu Utara memiliki sistem struktur rangka berupa rumah panggung. Pada sistem struktur ini beban – beban bangunan ditransferkan melalui tiang – tiang utama (ada dua tiang utama yang ditanam sampai ke atap – kakuluk mane dan kakuluk feto) dan tiang – tiang penunjang (biasanya selalu berjumlah ganjil tergantung besarnya rumah yang dibangun – 5,7,9) yang satu sama lainnya dihubungkan dengan balok – balok horizontal dan ring pembentuk lingkaran. Tiang – tiang tersebut pada umumnya menggunakan sistem jepit (ditanam), sedangkan perkuatan antara tiang dan balok menggunakan sistem sendi (diikat dengan ijuk ataupun daun gawang/lontar).
Pada dasarnya material yang digunakan untuk bangunan tradisional di Nusa Tenggara Timur (termasuk Belu), untuk tipologi fungsi satu dengan yang lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan, kecuali penggunaa material tertentu untuk rumah adat yang tidak diperkenankan pada bangunan rumah tinggal biasa, contohnya pada jenis kayu yang digunakan sebagai tiang utama rumah adat (fai ulun),balok lantai (neku fatuk/jati hutan)
Secara umum bahan bagunan yang digunakan sebagai bahan untuk bangunan tradisional di Belu [Uma Bot] berdasarkan penggunaannya terdiri dari 2 [dua] macam, yakni bahan struktural dan non struktural serta bahan bangunan konstruktif dan non konstruktif. Bahan bangunan yang digunakan pada arsitektur rumah tradisional Belu umumnya terbuat dari kayu dan bebak sebagai bahan struktural atau bahan konstruktif. Sedangkan bahan yang non strutuktural atau non konstruktif ialah berupa alang-alang (haemanlain) atau ijuk sebagai bahan penutup atap. Kayu merupakan bahan struktural atau konstruktif yang paling dominan digunakan dalam membangun rumah adat [termasuk aitos yang terdapat di tiap – tiap sadan], baik yang di olah dalam bentuk persegi[tiang dan balok persegi] maupun dalam bentuk gelondongan [bulat] dengan tanpa olahan khusus, kecuali kulitnya yang di kupas. Kayu dalam hal ini terutama digunakan untuk tiang kakaluk[ kakaluk mane dan kakaluk feto], ai kabelak [papan untuk lantai dan dinding).
Bahan penutup atap yang bersifat non struktural atau non konstruktif dalam kearsitekturan Belu [termasuk di kampung Suku Matabesi-Sesekoe], khususnya arsitektur tradisional tidak terdapat perbedaan antara bahan penutup atap untuk rumah adat dengan rumah tinggal biasa. Uma Lulik [rumah adat] umumnya menggunakan haemanlai [daun lontar]. Sebagian besar diambil dari sekitar kampung Matabesi – Sesekoe.. Dalam pengolahannya sebagai material bangunan, bahan-bahan umumnya dikerjakan secara manual dengan sentuhan teknologi yang sederhana serta sistem pengawetan secara manual dan sederhana pula. Bahan-bahan bangunan ini setelah ditebang atau diberi bentuk [diolah] biasanya tidak langsung digunakan, melainkan untuk sementara waktu di hutan hingga bahan-bahan bangunan tersebut menjadi kering dan dianggap layak untuk digunakan. Dalam hal ini proses pengawetan material bangunan tersebut biasanya dilakukan secara alami. Selain itu, masa pengawetan bahan bangunan ini juga merupakan suatu masa persiapan dalam rangka pembangunan rumah adat serta menunggu waktu yang tepat untuk mendirikan suatu bangunan. Material bangunan ini dalam pembangunannya mengalami perlakuan-perlakuan tertentu sesuai dengan kemampuan teknologi yang dimiliki. Perlakuan terhadap bahan-bahan bangunan ini biasanya dilakukan dengan 2 [dua] kemungkinan. Pertama, bahan-bahan tersebut diberi bentuk tertentu berupa balok-balok persegi. Kedua, bahan-bahan bangunan tersebut tidak diberi bentuk khusus, tetapi dibiarkan

Ragam Hias

Arsitektur Tradisional Belu Utara memiliki beberapa bentuk ragam hias yang terletak baik itu terukir di dalam rumah maupun yang terukir di aitos.
Ukiran yang terdapat di dalam rumah terletak pada daun pintu ukiran – ukiran itu berbentuk beranekaragam seperti ayam (manu), belut (tuna) dan kucing (busa). Ukiran ayam (manu) merupakan simbol kemenangan akan perang, ukiran belut (tuna) melambangkan pembelah ombak, simbol ini ada kaitannya dengan agama masyarakat setempat yang banyak menganut agama katolik, yang dimana dalam Alkitab diceritakan bahwa Musa melempar tongkatnya yang kemudian berubah menjadi ular (smea), oleh musa digunakan untuk membelah laut merah sebagai pembebesan bangsa mesir dari israel. Sementara itu, ukiran kucing (busa) melambangkan berkah dalam mencari makan (pekerjaan)
Ukiran ragam hias lain dalam Arsitektur Tradisional Suku Matabesi Belu terdapat pada mesbah/ meja persembahan (aitos). Ukiran ini terdiri dari tiga lapisan gambar yang menjadi satu kesatuan, ukiran ragam hias ini dikenal dengan sebutan Makarek Madaen yang melambangkan pejalanan SINA MUTIN MALAKA, diambil dari analogi bukit dan lembah digunakan sebagai simbol penghargaan bagi SINA MUTIN MALAKA yang dimana menurut kepercayaan masyarakat setempat pada waktu itu leluhurnya datang dari arah Laut (Larantuka) melewati gunung dan lembah (Lakaan).
Selain Makarek Medaen ada juga bentuk mata tombak (Matan Diman), khususnya terdapat pada aitos uma Meo. Analogi mata tombak ini melambangkan keberanian Meo dalam menghadapi peperangan.
Bangunan megalitik kampung Matabesi – Sesekoe dibagi atas empat jenis, diantaranya adalah :
Fatuk aitos, diletakan sebagai dasar berdirinya aitos fungsinya sebagai perkuatan/alas berdirinya aitos. Selain itu juga sering digunakan utuk meletakan persembahan dalam ukuran besar seperti kerbau,babi ataupun ayam.
Fatuk lulik, berada tepat di atas aitos fungsi fatuk lulik sebagai meja persembahan untuk meletakan persembahan/sesajen dalam bentuk sirih pinang bagi para leluhur dalam suatu upacara adat. Fatuk aitos dan fatuk lulik merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam aitos itu sendiri.
Sadan Sri fo’on Lakaan, merupakan tempat untuk menaruh Persembahan Kemenangan perang berupa kepala-kepala lawan yang telah dikalahkan dalam perang sebagai tanda bahwa warga kampung Matabesi telah memenangkan peperangan dalam merebut wilayah kekuasaan sekitar daerah tersebut serta berterimakasih pada leluhur yang telah membantu dalam peperangan (yang memberi kekuatan). Sadan Sri fo’on Lakaan ini dibagi atas dua tempat yang satunya berada di muka kampung sementara yang lainnya berada pada tempat yang lebih tinggi, dimaksudkan untuk menunjukan kemenangan pada daerah – daerah sekitarnya.
Hingga pada saat sekarang ini, Sadan Sri fo’on Lakaan masih digunakan sebagai awal dari upacara – upacara besar yang terjadi di kampung Matabesi – Sesekoe ini. Contohnya, digunakan sebagai tempat persembahan pada upacara awal musim panen ataupun upacara awal musim tanam. karena Sadan Sri fo’on Lakaan merupakan awal pintu masuk kawasan kampung tersebut, tempat ini besifat profan dan sakral.
Rate Meo (Kuburan Pahlawan) Kuburan pahlawan ini adalah salah satu bangunan megalitik yang terdapat di dalam kampung Matabesi – Sesekoe. Pada upacara – upacara tertentu, rate meo ini sering digunakan sebagai salah satu tempat upacara adat seperti pada upacara adat untuk mengambil kekuatan/ keberanian muda – mudi suku Matabesi sebelum merantau.
Upacara Membangun Rumah
Bagi orang Belu, khususnya suku Matabesi – Sesekoe rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal, tempat berteduh dari panas dan hujan melainkan juga merupakan bangunan yang ditata secara perlambang yang konteks dengan sosial budaya masyarakat yang tinggal didalamnya sehingga diperlukan tata cara dalam pendirian rumah.
Dalam hal ini, mendirikan rumah dapat dilihat sebagai penerapan hidup dalam lingkungan sosial yang diwakilinya. Upacara dilakukan mulai dari pembersihan lahan rumah, penentuan titik pembangunan rumah, pendirian tiang utama/kakaluk mane dan kakaluk feto, pemasangan bubungan atau atap rumah, sampai upacara masuk/penghunian rumah.
Hal ini dilakukan secara bertahap dan melibatkan pemilik rumah (uma nain) dan pemuka kampung (makoan) atau orang yang dianggap keramat. Misalnya, proses pembersihan dan pendirian tanda rumah dilakukan pemilik rumah dalam hal ini ibu/perempuan pemilik rumah dengan orang sakti yang tahapannya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Upacara pembersihan dan meminta izin kepada roh di dunia dan leluhur yang memiliki tanah dilakukan oleh hampir semua etnis atau masyarakat tradisional Indonesia. Ritual ini bertujuan untuk memberikan spirit atau jiwa bagi kehidupan yang berlangsung didalam rumah/bangunan yang didirikan. Spirit atau jiwa dari rumah yang didirikan sering disimbolkan dalam benda keramat yang diletakkan di dalam rumah, seringkali di letakkan pada bagian tengah atau atas (atap) rumah. Misalnya raga-raga yang digantung dibawah atap rumah Batak Toba. Selain menjadi jiwa atau nyawa dari rumah, berfungsi juga mengusir roh – roh atau gangguan dari luar terhadap keselamatan penghuni rumah.
Selain itu, rumah juga dianggap sebagai perwujudan jagad kecil dari jagat raya. Rumah adalah tempat kelahiran, perkawinan dan kematian. Seringkali upacara yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut dikaitkan dengan arah mata angin dan pergerakan matahari. Sehingga unsur kejagadan ini menciptakan tatanan upacara yang mengatur kegiatan di dalam rumah. Sebagai contoh timur dianggap serupa dengan hal-hal memberi kehidupan dan barat identik dengan kematian; maka wanita melahirkan ditempatkan di bagian timur rumah dan orang meninggal ditempatkan dibaringkan di bagian barat. Dalam sisi tegak, pembagian ruang dalam rumah sebagai jagad kecil merefleksikan pembagian ruang dalam alam semesta.
Sebagian besar masyarakat tradisional Indonesia membagi alam kedalam tiga bagian; dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Kosmologi ini juga mempengaruhi pembagian ruang dalam rumah ; ruang dibawah atap disamakan dengan alam dewa dan leluhur, lantai mewakili dunia biasa pengalaman sehari – hari dan ruang kosong dibawah rumah dihubungkan dengan alam baka yang dihuni oleh roh jahat, jiwa orang mati dan hal-hal gaib lainnya.
Dalam masyarakat tradisional, selain pembagian rumah yang dikaitkan dengan symbol sebagai jagad kecil, arah kejagadan rumah sesuai dengan penataan ruang perlambang lain, seperti pembagian dengan konsep berdasar gender serta gagasan mengatur perilaku pria dan wanita. Seringkali wanita dikaitkan dengan bagian dalam atau belakang rumah, dan pria serupa dengan bagian depan atau luar rumah. Pengaturan ruangan keluarga di dalam rumah suku Minangkabau di Sumatera Barat sangat dipengaruhi oleh konsep gender tersebut.
Demikian halnya dengan proses pembangunan rumah adat Suku Matabesi, awalnya Tua-Tua aadat berkumpul membicarakan rencana Pembangunan Rumah Adat, setelah mendapat kesepakatan yang bulat Makoan memohon persetujuan dari para Leluhur/nenek moyang untuk mencari hari baik memotong bahan/ material yang dibutuhkan. Pemotongan bahan-bahan tersebut selesai, sementara waktu di tinggalkan untuk mencari hari baik lagi mengumpulkan bahan-bahan yang telah disiapkan. Sementara itu dalam proses menunggu hari pegumpulan behan, lahan untuk memdirikan Rumah adat di siapkan dengan membuat dua Lobang untuk memasang/ tanam 2 tiang utama yakni Tiang Laki dan Tiang Mai. Ke-dua tiang ini tidak boleh menyentuh tanah sebelum tempat yang di sediakan belum selesai, karena tiang-tiang ini dianggap Suci dan sakral. Disamping itu konstruksi atapnya pun dirakit untuk siap dipasang. Setelah tiang Laki dan Tiang Mai berdiri proses pembangunan dilanjutkan sampai selesai dalam jangka waktu satu hari sebelum matahari terbenam.
Fungsi Rumah Adat/Suku
Rumah adat suku besar matabesi didalam kampung sesekoe seperti telah diuraikan sebelimnya bahwa ada 12 ( dua belas ) rumah adat yang memngelilingi satu rumah besar ( uma bot ). Ke 13 ( tiga belas ) rumah adat ini memiliki fungsi yang sama.
Pada kesehariannya rumah adat ini bias bersifat profand yakni sebagai rumah tinggal tapi tidak terlepas dari rumah adat yang mengikat. Contohnya bila sesorang pria yang belum melunasi uang kawin ( belis / mahar ) pada saat dilakukan upacara maka tidak diperkenanankan ( pemali ) untuk berada dalam ruang laki – laki.
Lain halnya kalau ada ritual adat tertentu rumah adat ini akan berubah menjadi sakral karna rumah adat dijadikan salah satu tempat berlangsungnya rumah adat tersebut.

Tinggalkan komentar